Kamis, 01 November 2012

Kisah Natal Terhebat Urut.2

Pada awal Oktober 1843, Charles Dickens melangkah dari serambi rumahnya yang bertiang dan terbuat dari batu dan bata di dekat Regent’s Park di London. Udara sejuk di senja hari menimbulkan perasaan lega setelah beberapa hari udara terasa lembab yang tidak biasanya. Si pengarang memulai jalan malamnya melalui apa yang disebutnya “jalanan hitam” di kotanya.

Dickens adalah seorang lelaki tampan berambut ikal cokelat serta mata yang berbuinar seperti biasa, yang kali ini tampak sangat murung. Ayah empat orang anak, yang berusia tiga puluh satu tahun itu merasa sudah berada di puncak kariernya. The Pickwick Papers, Oliver Twist, dan Nicholas Nickleby semuanya populer; dan Martin Chuzzlewit, yang dianggapnya sebagai novelnya yang terbagus, diterbitkan secara bersambung setiap bulan. Namun, sekarang, pengarang terkenal itu menghadapi masalah keuangan yang serius.

Beberapa bulan sebelumnya, penerbitnya mengungkapkan bahwa penjualan novel barunya tidak sebagus yang diperkirakan, dan mungkin perlu dilakukan pengurangan yang besar dalam pembayaran uang panjar bulanan yang biasanya diterima Dickens. Kabar itu mengagetkan si pengarang. Sepertinya bakat mengarangnya dipertanyakan. Kenangan masa kecilnya yang sengsara muncul kembali. Dickens menafkahi keluarga besar, dan pengeluarannya nyaris melebihi beban yang sanggup dipikulnya. Ayah dan saudara-saudaranya memohon agar diberi pinjaman. Istrinya, Kate, sedang mengandung anaknya yang kelima.

Sepanjang musim panas, Dickens mencemaskan tagihannya yang menggunung, terutama cicilan rumahnya. Dia menghabiskan waktu di sebuah resor tepi pantai, tapi di situ pun dia susah tidur dan berjalan menjelajahi tebing selama berjam-jam. Dia sadar bahwa dia membutuhkan sebuah gagasan yang dapat memberinya sejumlah besar uang, dan dia membutuhkan gagasan itu secepatnya. Tetapi, dalam keadaan yang begitu menekan jiwa, ternyata sulit bagi Dickens untuk mengarang. Setelah kembali ke London, dia berharap bahwa melakukan kebiasaannya berjalan-jalan di malam hari akan bisa menyulut imajinasinya.

Cahaya kuning lampu gas yang berkelap-kelip menerangi jalanan yang disusurinya melalui permukiman yang lebih baik di kota London. Lalu, secara berangsur-angsur, di saat dia semakin mendekati Sungai Thames, hanya cahaya redup dari jendela rumah-rumah petak sajalah yang menerangi jalanan, yang sekarang dipenuhi sampah dan dibatasi oleh selokan di kedua sisinya. Para wanita anggun dan kaum lelaki berpakaian rapi di daerah permukiman Dickens digantikan oleh kupu-kupu malam yang mesum, pencopet, preman, dan pengemis.

Pemandangan yang muram itu mengingatkannya pada sebuah mimpi buruk yang sering mengganggu tidurnya: Seorang anak lelaki berusia dua belas tahun duduk di sebuah meja kerja yang di atasnya terdapat setumpukan tinggi wadah semir sepatu hitam. Selama dua belas jam sehari, enam hari sepekan, anak itu menempelkan label pada tumpukan wadah yang seakan tak ada habisnya itu untuk mengais rezeki enam shilling yang membuatnya dapat bertahan hidup.

Melalui lantai gudang yang sudah lapuk itu, si anak dalam mimpi melihat ke dalam tempat penyimpanan makanan, dan di situ tampak sekawanan tikus berseliweran. Kemudian, dia menengadah, melihat ke jendela yang penuh kotoran, dan dari jendela itu menetes air yang terbentuk oleh dinginnya cuaca London di musim dingin. Cahaya matahari mulai meredup, seiring dengan meredupnya harapan si anak. Ayahnya ditahan di penjara oleh penagih utang, sementara dia hanya menerima satu jam pelajaran sekolah pada saat istirahat makan malam di gudang itu. Dia merasa tak berdaya, ditelantarkan. Mungkin tak akan pernah ada perasaan gembira, riang, atau harapan lagi…

Ini bukanlah adegan yang diinginkan si pengarang. Adegan ini mirip dengan pengalamannya di masa kecilnya dulu. Untunglah, ayah Dickens mewarisi sejumlah uang, yang membuatnya dapat membayar semua utangnya dan keluar dari penjara–dan anak lelakinya yang masih kecil itu tidak mengalami nasib yang sengsara. Sekarang, ketakutan tidak bisa membayar utangnya sendiri terus menghantui Dickens. Dengan lesu, dia memulai perjalanan pulan dari acara jalan-jalannya yang panjang itu, sama sekali belum punya gagasan untuk kisah “ceria dan riang” yang ingin diceritakannya. Tidak berbeda dengan saat dia memulai acara jalan-jalannya.

Namun, saat semakin dekat dengan rumah, dia merasakan ada sekelebatan ilham. Bagaimana kalau menulis kisah Natal! Dia akan menulis sebuah cerita untuk orang-orang yang berpapasan dengannya di jalanan hitam kota London. Orang-orang yang hidup dan berjuang dengan dihantui perasaan takut dan kerinduan yang pernah dirasakannya dulu, orang-orang yang haus akan secercah kebahagiaan dan harapan.

Tapi, Natal sudah akan tiba kurang dari tiga bulan lagi! Mana mungkin dia sanggup menyelesaikan tugas sebesar itu dalam waktu sesingkat itu! Naskah karangannya harus pendek, jelas bukan sebuah novel lengkap. Naskah itu harus sudah rampung menjelang akhir November agar masih sempat dicetak dan didistribusikan tepat menjelang penjualan pernak-pernik Natal. Agar cepat, dia mendapatkan gagasan untuk mengadaptasi cerita hantu Natal dari sebuah bab The Pickwick Papers.

Dia akan mengisi ceritanya dengan berbagai adegan dan beberapa tokoh yang digemari pembacanya. Akan ada tokoh seorang anak kecil yang sakit-sakitan, yang ayahnya jujur namun tidak cakap, dan sebagai pusat cerita, akan ada seorang lelaki tua yang jahat dan egois, yang hidungnya bengkok dan pipinya keriput. Di saat hari-hari sejuk di bulan Oktober semakin mendekati bulan November yang semakin dingin, naskah itu terus berkembang, halaman demi halaman, dan ceritanya mulai membentuk. Alur cerita pokoknya cukup sederhana sehingga mudah dipahami anak-anak, namun membangkitkan gagasan yang bisa menggugah kenangan indah dan perasaan nyaman pada hati orang dewasa.

Setelah beristirahat sendirian di apartemennya yang dingin dan kosong pada malam Natal, Ebenezer Scrooge, seorang pengusaha London yang kikir, didatangi roh mitra usahanya yang sudah meninggal, Jacob Marley. Karena semasa dia masih hidup dikuasai oleh sifat serakah dan perasaannya yang tidak peka pada temannya, roh Marley terus gentayangan di dunia dengan dirantai karena sikapnya yang selalu tidak peduli pada sesama. Dia memperingatkan Scrooge agar mau berubah kalau tidak mau mengalami nasib yang sama dengannya. Hantu Natal Masa Lalu, Hantu Natal Masa Sekarang, dan Hantu Natal Masa Mendatang bermunculan dan memperlihatkan pada Scrooge berbagai pemandangan memilukan dari kehidupannya dan apa yang akan terjadi jika dia tidak memperbaiki cara hidupnya. Dengan perasaan yang sarat dengan penyesalan, Scrooge meninggalkan sifatnya yang egois dan berubah menjadi orang yang baik hati, dermawan, dan penuh cinta kasih yang berhasil memetik pelajaran dari semangat Natal yang sejati.

Bersambung ke “Kisah Natal Terhebat Urutan Kedua yang Pernah Dikisahkan, Bagian Kedua”

Dikutip dari buku “Everyday Greatness 63 Kisah + 500 Kata-kata Bijak Terbaik untuk Menemukan Makna Hidup” Ditulis oleh Thomas J. Burns
Halaman 250-253

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas Umpan baliknya, Good Lucky...!
GOD Bless Us....!