Senin, 06 Agustus 2012

Bingung [Jadi Karyawan atau Pengusaha]

efeq
Bingung [Jadi Karyawan atau Pengusaha]...?????????????????????????
Pertanyaan di atas ramai diper­bin­cang­kan belakangan ini dan menjadi topik pembicaraan yang menarik. Pemicunya pun sudah dapat ditebak: se­minar-seminar motivasi yang kini semakin menjamur.

Berbagai seminar tersebut sangat me­narik dan sungguh menyemangati ki­ta untuk beralih profesi dari karyawan men­jadi pengusaha. Menjadi pengusaha me­mang sungguh menjanjikan. Kita dapat le­bih cepat mengumpulkan kekayaan dan se­kaligus menjadi orang yang terhormat. Menjadi pengusahapun berkontribusi langsung terhadap kemajuan suatu bangsa.

Konon suatu negara baru dapat di­kata­kan makmur bila jumlah wirausahanya mencapai 2% dari total penduduk. Bahkan sebuah hadits Nabi pun dikutip untuk memperkuat argumen ini. Hadits tersebut me­ngatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki di­peroleh dengan berwirausaha.

Semua argumen tersebut telah men­jadi wacana yang mengemuka dalam ma­sya­rakat kita. Ini membuat banyak orang ban­ting stir menjadi pengusaha. Menjadi pengusaha seakan-akan menempatkan kita di posisi yang lebih terhormat daripada menjadi karyawan. Pengusaha adalah warga kelas satu sementara karyawan seakan menjadi warga kelas dua.

Bahkan seorang kawan saya yang bergaji puluhan juta rupiah pun ketika ditanya mengenai pekerjaannya sama sekali tidak menunjukkan kebanggaan dan hanya berkata singkat, “Saya ini hanya bu­ruh.” Kawan yang lain bilang, “ Saya hanya orang gajian. Saya masih bekerja dengan orang lain.” Padahal, boleh jadi nasibnya jauh lebih beruntung daripada mereka yang kini sudah beralih profesi menjadi pengusaha.

Rumput tetangga memang selalu le­bih hijau. Saya kira pepatah lama itu ma­sih relevan untuk menggambarkan kegalauan yang kini banyak diderita oleh para karyawan dan pengusaha. Karyawan merasa minder dan kehilangan kebanggaan terhadap pekerjaan mereka. Mereka me­rasa kalah set dengan teman-temannya yang telah menjadi pengusaha.

Sebaliknya banyak juga pengusaha yang malah membayangkan betapa nik­matnya menjadi seorang karyawan: tidak harus pusing memikirkan bagaimana mengembangkan usaha dan membayar gaji karyawan. Mereka baru menyadari bahwa menjadi pengusaha ternyata tidak mudah dan juga tidak aman.

Setelah menjalani usaha beberapa waktu lamanya mereka kini berhadapan dengan jalan buntu. Mereka tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat untuk mengembangkan bisnisnya. Jadilah kedua kelompok itu menderita kegalauan yang tidak berujung.

Tujuan yang Salah


Kegalauan semacam itu mestinya tidak perlu terjadi kalau kita memulai segala se­suatu dengan tujuan yang benar. Namun, di sinilah letak masalahnya. Banyak orang yang menjalani profesi sebagai pengusaha maupun karyawan memulainya dengan tujuan yang salah. Atau bahkan mereka tidak pernah memikirkan tujuan apa pun tetapi hanya menjalani kehidupan sesuai dengan tren yang mutakhir.

Banyak orang banting stir menjadi peng­usaha karena menginginkan ke­ka­yaan yang berlimpah. Mereka sudah mem­ba­yangkan bahwa dengan kekayaan yang ber­limpah itu mereka bisa hidup dengan nyaman, bebas berbelanja serta berlibur dengan keluarga keluar negeri.

Selain itu, mereka juga akan memiliki waktu luang yang tidak terbatas. Para calon pengusaha itu mendambakan apa yang disebutnya sebagai work life balance. Ini yang tidak akan mereka dapatkan se­lama menjadi karyawan. Karena itu me­reka berlomba menjadi pengusaha agar mempunyai banyak waktu dengan anggota keluarga. Selain itu, ada juga yang menjadi pengusaha karena alasan ego: ingin men­jadi bos terhadap diri sendiri dan tidak mau lagi diperintah oleh atasan.

Semua alasan ini sungguh tidak tepat. Orang-orang yang menganut alasan ter­sebut sesungguhnya telah salah kaprah. Me­reka hanya membayangkan hal-hal yang nyaman saja dari seorang pengusaha. Mereka lupa bahwa menjadi pengusaha sesungguhnya berarti harus bekerja jauh lebih keras dibandingkan dengan menjadi karyawan.

Mereka lupa bahwa menjadi pengusaha akan membuat mereka ke­hilangan wak­tu lebih banyak karena tuntutan un­tuk selalu me­mikirkan bisnis. Mereka juga akan ber­ada pada 'zona tidak nyaman' karena bo­leh jadi akan senantiasa dibayangi oleh ri­siko kebangkrutan yang bisa terjadi kapan saja.

Menjadi pengusaha sesungguhnya ber­arti harus bekerja jauh lebih keras daripada menjadi karyawan. Keinginan untuk hidup enak dan mudah ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan etos kerja pengusaha dan inilah yang sering membuat seorang pengusaha gagal dalam menjalankan bisnisnya.

Hal ini sesungguhnya bisa dicegah ka­lau kita mempunyai paradigma yang be­nar tentang wi­rausaha. Sesungguhnya alas­an terbaik untuk menjadi pengusaha ada­lah bagaimana agar kita bisa le­bih memanfaatkan po­tensi diri kita, me­ngem­bang­kan diri sebaik mungkin dan menjadi individu yang bernilai tambah bagi orang lain.

Yang Mana Calling Anda?


Yang menarik yang ingin saya sam­pai­kan di sini adalah bahwa tidak semua orang dikirim Tuhan ke dunia ini untuk menjadi pengusaha. Karena itu kita harus pandai-pandai membaca sinyal-sinyalnya. Anda mungkin berbakat menjadi peng­usaha kalau Anda mempunyai energi lebih yang tidak dapat terakomodasi dalam se­buah posisi di organisasi.

Anda mungkin juga mempunyai banyak ide yang akan sulit diwujudkan selama Anda berada di bawah kendali orang lain. Sinyal-sinyal itulah yang saya sebut dengan calling (panggilan). Panggilan itu sendiri sejatinya berasal dari Tuhan. Jadi ada orang yang memang sudah diutus Tuhan ke dunia ini untuk memberi manfaat kepada banyak orang dengan menjadi pengusaha. Mereka dibekali ide yang luar biasa banyak dan diberikan kemampuan yang luar biasa besar untuk membaca dan memanfaatkan peluang.

Sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang calling-nya adalah sebagai pro­fesio­nal. Mereka juga dianugerahi talenta yang luar biasa dari Tuhan tetapi talenta tersebut bukanlah da­lam bentuk ke­mampuan mem­baca peluang se­perti yang di­miliki oleh pengusaha. Orang-orang seperti ini lebih cocok menjadi kar­yawan, karena dengan menjadi karyawan ini mereka bisa memberikan nilai tambah yang luar biasa kepada orang lain.

Mereka adalah para profesional yang menguasai bidangnya tetapi tidak ingin dibebani dengan berbagai risiko seperti yang dialami oleh para pengusaha.
Jadi kesimpulannya, setiap orang me­miliki calling-nya masing-masing apakah menjadi karyawan atau menjadi pengusaha, karena itu tugas kita semua adalah menemukan calling kita masing-masing dan menjalankan kehidupan sesuai dengan calling kita itu. Menjadi karyawan dan pengusaha itu sama mulianya sejauh kita bisa mengabdikan hidup kita untuk memberikan nilai tambah kepada sesama manusia.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas Umpan baliknya, Good Lucky...!
GOD Bless Us....!